Nasional
Undang-Undang Anti-Terorisme Belum 'Bertaring'?
Ada beberapa pasal pada UU Pemberantasan Tindak Pidana terorisme yang tidak adanya kepastian hukum.
Garda Nasional, Malang - Kabag Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB), Tunggul Anshari mengatakan, salah satu motif terorisme adalah ideologi dan politik, yakni bagaimana memisahkan keduanya dengan cara dipaksakan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Tidak adanya kepastian hukum, di pasal 13 A UU Pemberantasan Tindak Pidana terorisme karena tidak ada kejelasan apa yang dimaksud dengan “hubungan”, “tampilan” yang sangat mudah ditafsirkan,” ujarnya di Malang, Rabu (24/10/2018).
Ketidakjelasan arti dari sebuah hubungan inilah yang dikatakan ketidakjelasan hukum dan bersifat subjektif. Begitupun dengan tampilan, banyak yang beranggapan bahwa seseorang yang bercelana cingkrang dikatakan teroris, padahal bukan demikian.
"Ketidakjelasan inilah yang nantinya dapat mengancam perlindungan hak konstitusional warga negara," katanya.
Ketua Pusat Pengkajian HAM dan Demokrasi FH UB, Muktiono menambahkan, terorisme termasuk kejahatan luar biasa, asas superioritas keadilan berdasarkan pertimbangan perlu mengesampingkan asas legalitas atau non retroaktif.
"Non retroaktif bukan lagi menjadi asas universal melainkan kasuistis," imbuhnya.
Ia menambahkan, berdasarkan beberapa penyataan kepolisian, UU Nomor 15 tahun 2003 kurang memadai, sehingga direvisi melalui pengesahan UU Nomor 5 tahun 2018 yang memuat ketentuan-ketentuan baru dalam pemberantasan terorisme, mulai definisi terorisme, organisasi, penghasutan, pelibatan anak, waktu penahanan, penangkapan, penyadapan, perlindungan, hak korban, pencegahan, BNPT, pelibatan TNI dan pelibatan DPR.
Akan tetapi, lanjut Muktiono, UU tersebut tidak lepas dari permasalahan yang menyangkut beberapa aspek seperti definisi terorisme yang dapat disalahgunakan untuk menekan oposisi, lama penahanan tersangka dan terdakwa.
"Penyalahgunaan wewenang dan frasa paham radikal terorisme mengalami kekaburan makna,” tegasnya.
Menurutnya, ada lima ide yang melatarbelakangi munculnya tindakan terorisme yakni superioritas, ketidakadilan, kerentanan, ketidakpercayaan, dan ketidakberdayaan. Kelima ide tersebut memiliki kesamaan dengan alasan-alasan yang digunakan oleh narapidana terorisme saat melakukan aksinya misalnya alasan superioritas agama mereka.
Berbeda dengan Pusat Pengkajian Terorisme FH UB, Muhammad Ali Safa’at menjelaskan, sifat luasnya norma dalam UU pemberantasan tindak pidana terorisme merupakan konsekuensi dari ektra ordinary crime.
“Dari tindak pidana terorisme ini maka yang harus didorong digunakan adalah instrument hukum untuk mengontrol,” katanya.
Oleh karena itu, harus ada contoh konkrit dari implementasi pasal tindak pidana terorisme terutama dari hukum dalam upaya memperbaiki UU pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut.
uu antiterorisme

